PELAKSAAAN
PENDIDIKAN TERDAHULU DI DAERAH SPESIFIK
A.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN
Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan
tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan
meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat
mengubah dan mengembangkan pengetahuan.
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan
terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak
agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai
warga negara/masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi kegiatan, dan
teknik penilaian yang sesuai.
Dilihat dari sudut perkembangan yang dialami oleh anak,
maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut ditujukan untuk membantu anak
dalam menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang dialaminya
dalam setiap periode perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan dipandang
mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan
anak.
B.
KONSEP
PENDIDIKAN DI DAERAH PERBATASAN
Sebagai
ujung tombak dalam menjaga kedaulatan suatu bangsa, masyarakat yang berada di
daerah perbatasan memiliki peranan yang sangat vital, terutama menyangkut
penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam dan menjaga
keamanan serta keutuhan negara. Data Kementerian PDT menyebutkan setidaknya
terdapat 11 provinsi yang terbagi menjadi 36 kabupaten/kota yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga, dimana secara keseluruhan daerah tersebut
masuk dalam skala prioritas pengembangan daerah kawasan tertinggal tahun
2012-2014. Hal ini menunjukan betapa selama ini daerah perbatasan belum
mendapatkan tempat yang layak dalam kebijakan pembangunan nasional.
Potret buram pendidikan di wilayah perbatasan
tersebut bukanlah hal yang baru. Beranda terdepan Indonesia itu seolah menjadi
pagar dalam menjaga kedaulatan bangsa sekaligus gudang terbelakang dalam
pembangunan nasional termasuk bidang pendidikan. Bagaimana tidak, Nusa Tenggara
Timur (NTT) yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia misalnya,
merupakan provinsi dengan angka kelulusan UN terendah. Angka melek huruf disana
tidak beranjak dari 85.5%, padahal pemerintah mengungkapkan bahwa 92.7%
masyarakat Indonesia sudah melek huruf.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di NTT,
kondisi serupa juga terjadi di berbagai daerah perbatasan lainnya di Indonesia.
Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan
langsung dengan Malaysia menunjukan bahwa sekitar 30% masyarakat yang berada di
daerah tersebut buta huruf dan sekitar 5 – 10% anak usia pendidikan dasar
mengalami putus sekolah. Kondisi serupa yang lebih memprihatinkan juga terjadi
pada Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu dimana anak usia sekolah
lebih memilih bersekolah di Malaysia ketimbang sekolah di negeri sendiri.
Sebagai perbandingan tahun ajaran 2011 terdapat 13 anak yang masuk SD di Puring
Kencana, sedangkan 83 anak lainnya memilih sekolah di Malaysia (Hamid, 2013).
Hal yang tidak jauh berbeda dapat kita temukan di
berbagai wilayah perbatasan di seluruh Indonesia salah satunya dapat kita temui
di Kabupaten Rote Ndau NTT. Berdasarkan pengalaman Furiyani Nur Amalia, alumni
Teknik Telekomunikasi PENS, pengajar muda dalam ”Indonesia Mengajar” anak-anak
di sana bahkan tidak tahu Ibu Kota Indonesia, Nama Presiden, apalagi lagu
kebangsaan Indonesia. Bahkan di daerah Atambua terdapat beberapa sekolah yang
pengajarnya adalah para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang bertugas
di daerah perbatasan, sedangkan pengajar yang benar-benar latar belakangnya
seorang guru atau pengajar tidak ada satu pun.
Berbagai
kondisi pendidikan yang ada di daerah perbatasan tersebut diperparah dengan
aksebilitas menuju ke sekolah buruk sehingga menghambat guru maupun siswa.
Mereka harus menyeberangi sungai untuk dapat tiba di sekolah. Butuh waktu lama
dan tenaga ekstra karena harus melewati medan yang sulit dan jauh. Selain itu,
tenaga pengajar juga terbatas karena tidak banyak yang mau mengabdikan diri
sebagai guru di daerah terpencil dengan akses yang sulit dan gaji yang kurang
memadai. Pada beberapa kasus misalnya, untuk mengambil gaji di kota kecamatan
biaya yang harus di keluarkan untuk mengambil gaji tersebut sangat besar, sama
dengan nominal gaji yang ia terima. Sehingga guru tersebut memutuskan untuk
mengambil gajinya beberapa bulan sekali karena sulit dan mahalnya medan yang
harus ditempuh.
Meningkatkan kualitas pendidikan di perbatasan
merupakan langkah penting untuk mengokohkan sistem pertahanan nasional di
wilayah tersebut melalui pendidikan dan budaya. Peningkatan akses pendidikan di
perbatasan akan menghapus stigma kesenjangan politik nasional mengenai
peningkatan sumber daya dan infrastruktur; juga menjadikan warga di daerah
perbatasan merasa menjadi bagian dari negara Indonesia.
C. FAKTOR
PENYEBAB RENDAHNYA PENDIDIKAN DI PERBATASAN
Ironi pendidikan pada daerah perbatasan benar-benar
menjadi problematika pelik bagi bangsa ini. Berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah agar kualitas pendidikan di perbatasan manjadi lebih baik. Namun
hingga kini, upaya-upaya yang dilakukan selalu menemui jalan buntu. Dengan
berbagai dalih, pemerintah kerap kali membela diri dengan bersembunyi pada
berbagai alasan seperti anggaran yang terbatas, hambatan geografis,
infrastruktur belum memadai, dan lain sebagainya.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa masalah yang
menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di daerah perbatasan:
1. Kurangnya
tenaga pendidik dan kependidikan
2. Rendahnya
kesejahteraan guru
3. Minimnya
kualitas sarana fisik
4. Kurangnya
kesempatan pemerataan pendidikan
5. Budaya
pendidikan masih rendah
D.
PELAKSANAAN
PENDIDIKAN TERDAHULU DI DAERAH ACEH
Pendidikan ini diperkenalkan pemerintah Hindia
Belanda kepada rakyat Aceh, baru pada permulaan abad ke- 20, yang pada mulanya
masih terbatas kepada anak- anak golongan bangsawan.
Di daerah Aceh, jenis pendidikan dasar atau rendah
yang diusahakan oleh pemerintah Hindia- Belanda adalah sangat tebatas. Artinya
tidak semua jenis pendidikan seperti yang ada di Jawa juga terdapat di
Aceh. Pendidikan di Aceh adalah Volkschool (dengan masa belajar 3
tahun ), Vervolghschool (lama belajar dua atau tiga tahun), Meijesschool
(dengan masa belajar dua atau tiga tahun), De 2de Klassescholen (sekolah-
sekolah kelas dua).
Sekolah pertama yang didirikan di Aceh adalah pada
tanggal 30 Desember 1907, yang diprakarsai oleh Gubernur Militer/Sipil Aceh dan
daerah Takluknya pada masa itu, Van Daalen.dan sekolah yang pertama ini
didirikan di wilayah Aceh Besar distrik Ulee Lheue yang pada mulanya diberi
nama sekolah mukim dengan jumlah murid 38 orang. Selanjutnya pada tanggal 4
Januari 1908, di desa Lam Lagang dibuka sekolah yang serupa dengan jumlah murid
35 orang.
Menurut laporan umum pendidikan di Hindia Belanda
tahun1928, satu- satunya lembaga pendidikan menengah yang terdapat di Aceh dan
daerah- daerah takluknya ialah yang disebut M.U.L.O (Meer Uitgbreid Lgaer
Onderwijs). Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan pemerintah Hindia Belanda
paling tinggi yang ada di Aceh, dan didirikan pertama kali pada tahun ajarah
1920/21 di Kuta Raja dengan lama masa belajarnya 3 tahun. Berdasarkan memori
serah terima jabatan asisten residen Aceh Besar C.E. Mejern pada 17 Juni 1935,
jumlah murid pada sekolah itu adalah 79 orang.
Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu
dan Islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan tersebut diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai Islam, budaya,
dan kemajemukan bangsa. Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15
(lima belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut
biaya. Pemerintah Pusat, Pemerintahan Aceh, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
mengalokasikan dana untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah.
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
menyediakan pendidikan layanan khusus bagi penduduk Aceh yang berada di daerah
terpencil atau terbelakang. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota memberikan
kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat dan dunia usaha untuk menyelenggarakan dan mengembangkan
pendidikan yang bermutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah,
Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan untuk mendapatkan tenaga kependidikan yang professional dari luar
negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh meningkatkan
fungsi Majelis Pendidikan Daerah yang merupakan salah satu wadah partisipasi
masyarakat dalam bidang pendidikan yang tata cara pembentukan, susunan dan
fungsinya diatur dalam Qanun Aceh.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh
yang berlandaskan nilai Islam dengan mengikutsertakan masyarakat dan lembaga
sosial. Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
mengakui, menghormati dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahasa daerah diajarkan dalam
pendidikan sekolah sebagai muatan lokal. Pemerintah dan Pemerintah Aceh
memelihara dan mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau
dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan budaya Aceh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan diatur dengan Qanun Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar