Selasa, 10 Februari 2015

FILSAFAT PENDIDIKAN



PELAKSAAAN PENDIDIKAN TERDAHULU DI DAERAH SPESIFIK 
 
A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN
Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan.
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai.
Dilihat dari sudut perkembangan yang dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam setiap periode perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.

B.     KONSEP PENDIDIKAN DI DAERAH PERBATASAN
Sebagai ujung tombak dalam menjaga kedaulatan suatu bangsa, masyarakat yang berada di daerah perbatasan memiliki peranan yang sangat vital, terutama menyangkut penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam dan menjaga keamanan serta keutuhan negara. Data Kementerian PDT menyebutkan setidaknya terdapat 11 provinsi yang terbagi menjadi 36 kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, dimana secara keseluruhan daerah tersebut masuk dalam skala prioritas pengembangan daerah kawasan tertinggal tahun 2012-2014. Hal ini menunjukan betapa selama ini daerah perbatasan belum mendapatkan tempat yang layak dalam kebijakan pembangunan nasional.


Potret buram pendidikan di wilayah perbatasan tersebut bukanlah hal yang baru. Beranda terdepan Indonesia itu seolah menjadi pagar dalam menjaga kedaulatan bangsa sekaligus gudang terbelakang dalam pembangunan nasional termasuk bidang pendidikan. Bagaimana tidak, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia misalnya, merupakan provinsi dengan angka kelulusan UN terendah. Angka melek huruf disana tidak beranjak dari 85.5%, padahal pemerintah mengungkapkan bahwa 92.7% masyarakat Indonesia sudah melek huruf.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di NTT, kondisi serupa juga terjadi di berbagai daerah perbatasan lainnya di Indonesia. Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia menunjukan bahwa sekitar 30% masyarakat yang berada di daerah tersebut buta huruf dan sekitar 5 – 10% anak usia pendidikan dasar mengalami putus sekolah. Kondisi serupa yang lebih memprihatinkan juga terjadi pada Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu dimana anak usia sekolah lebih memilih bersekolah di Malaysia ketimbang sekolah di negeri sendiri. Sebagai perbandingan tahun ajaran 2011 terdapat 13 anak yang masuk SD di Puring Kencana, sedangkan 83 anak lainnya memilih sekolah di Malaysia (Hamid, 2013).
Hal yang tidak jauh berbeda dapat kita temukan di berbagai wilayah perbatasan di seluruh Indonesia salah satunya dapat kita temui di Kabupaten Rote Ndau NTT. Berdasarkan pengalaman Furiyani Nur Amalia, alumni Teknik Telekomunikasi PENS, pengajar muda dalam ”Indonesia Mengajar” anak-anak di sana bahkan tidak tahu Ibu Kota Indonesia, Nama Presiden, apalagi lagu kebangsaan Indonesia. Bahkan di daerah Atambua terdapat beberapa sekolah yang pengajarnya adalah para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang bertugas di daerah perbatasan, sedangkan pengajar yang benar-benar latar belakangnya seorang guru atau pengajar tidak ada satu pun.
Berbagai kondisi pendidikan yang ada di daerah perbatasan tersebut diperparah dengan aksebilitas menuju ke sekolah buruk sehingga menghambat guru maupun siswa. Mereka harus menyeberangi sungai untuk dapat tiba di sekolah. Butuh waktu lama dan tenaga ekstra karena harus melewati medan yang sulit dan jauh. Selain itu, tenaga pengajar juga terbatas karena tidak banyak yang mau mengabdikan diri sebagai guru di daerah terpencil dengan akses yang sulit dan gaji yang kurang memadai. Pada beberapa kasus misalnya, untuk mengambil gaji di kota kecamatan biaya yang harus di keluarkan untuk mengambil gaji tersebut sangat besar, sama dengan nominal gaji yang ia terima. Sehingga guru tersebut memutuskan untuk mengambil gajinya beberapa bulan sekali karena sulit dan mahalnya medan yang harus ditempuh.
Meningkatkan kualitas pendidikan di perbatasan merupakan langkah penting untuk mengokohkan sistem pertahanan nasional di wilayah tersebut melalui pendidikan dan budaya. Peningkatan akses pendidikan di perbatasan akan menghapus stigma kesenjangan politik nasional mengenai peningkatan sumber daya dan infrastruktur; juga menjadikan warga di daerah perbatasan merasa menjadi bagian dari negara Indonesia.
C.     FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA PENDIDIKAN DI PERBATASAN
Ironi pendidikan pada daerah perbatasan benar-benar menjadi problematika pelik bagi bangsa ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah agar kualitas pendidikan di perbatasan manjadi lebih baik. Namun hingga kini, upaya-upaya yang dilakukan selalu menemui jalan buntu. Dengan berbagai dalih, pemerintah kerap kali membela diri dengan bersembunyi pada berbagai alasan seperti anggaran yang terbatas, hambatan geografis, infrastruktur belum memadai, dan lain sebagainya.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di daerah perbatasan:
1.      Kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan
2.      Rendahnya kesejahteraan guru
3.      Minimnya kualitas sarana fisik
4.      Kurangnya kesempatan pemerataan pendidikan
5.      Budaya pendidikan masih rendah

D.    PELAKSANAAN PENDIDIKAN TERDAHULU DI DAERAH ACEH
Pendidikan ini diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Aceh, baru pada permulaan abad ke- 20, yang pada mulanya masih terbatas kepada anak- anak golongan bangsawan.
Di daerah Aceh, jenis pendidikan dasar atau rendah yang diusahakan oleh pemerintah Hindia- Belanda adalah sangat tebatas. Artinya tidak semua jenis pendidikan seperti yang ada di Jawa juga terdapat di Aceh. Pendidikan di Aceh adalah Volkschool (dengan masa belajar 3 tahun ), Vervolghschool (lama belajar dua atau tiga tahun), Meijesschool (dengan masa belajar dua atau tiga tahun), De 2de Klassescholen (sekolah- sekolah kelas dua).
Sekolah pertama yang didirikan di Aceh adalah pada tanggal 30 Desember 1907, yang diprakarsai oleh Gubernur Militer/Sipil Aceh dan daerah Takluknya pada masa itu, Van Daalen.dan sekolah yang pertama ini didirikan di wilayah Aceh Besar distrik Ulee Lheue yang pada mulanya diberi nama sekolah mukim dengan jumlah murid 38 orang. Selanjutnya pada tanggal 4 Januari 1908, di desa Lam Lagang dibuka sekolah yang serupa dengan jumlah murid 35 orang.
Menurut laporan umum pendidikan di Hindia Belanda tahun1928, satu- satunya lembaga pendidikan menengah yang terdapat di Aceh dan daerah- daerah takluknya ialah yang disebut M.U.L.O (Meer Uitgbreid Lgaer Onderwijs). Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan pemerintah Hindia Belanda paling tinggi yang ada di Aceh, dan didirikan pertama kali pada tahun ajarah 1920/21 di Kuta Raja dengan lama masa belajarnya 3 tahun. Berdasarkan memori serah terima jabatan asisten residen Aceh Besar C.E. Mejern pada 17 Juni 1935, jumlah murid pada sekolah itu adalah 79 orang.
Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan tersebut diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai Islam, budaya, dan kemajemukan bangsa. Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Pemerintah Pusat, Pemerintahan Aceh, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota mengalokasikan dana untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah.
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menyediakan pendidikan layanan khusus bagi penduduk Aceh yang berada di daerah terpencil atau terbelakang. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha untuk menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan yang bermutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan untuk mendapatkan tenaga kependidikan yang professional dari luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh meningkatkan fungsi Majelis Pendidikan Daerah yang merupakan salah satu wadah partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan yang tata cara pembentukan, susunan dan fungsinya diatur dalam Qanun Aceh.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam dengan mengikutsertakan masyarakat dan lembaga sosial. Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengakui, menghormati dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal. Pemerintah dan Pemerintah Aceh memelihara dan mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan budaya Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan diatur dengan Qanun Aceh.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar